Keranjingan Sitkom Queer Eye

Gw lagi demen-demennya nonton Queer Eye di Netflix. Gw adalah anak muda mid 20an yang memiliki beberapa prasyarat hidup di ibukota dan berada dalam pusaran pergaulannya dengan kriteria sebgai berikut: (1). Langganan Spotify Premium, (2). Join account Netflix sama temen-temen biar biayanya murah dan terakhir (3). Keranjingan minum bubble tea. Anyway, Queer Eye jadi the most favorite reality show in my life ever dah selain Bongkar Rumah. -yekan kalian pada nonton Bongkar Rumah gak sih jaman jadul pas orang miskin rumahnya dibongkar terus diremake jadi bagus, ih gw seneng banget asli lihat itu selain acara masak-memasak Rudy Choiruddin di tipi-

Gw bukan fan of watching TV sih. Gw dibesarkan dari keluarga overprotective di mana main di luar dan nonton TV di luar jadwal yang sudah ditentukan adalah sebuah kado ulangtahun. Seriusan gw pernah dikasih kado ulangtahun disuruh milih mau nonton TV atau main di luar. Sedih banget gak gaes kalau jadi gw. Semenjak itu gw enggak suka hadiah ulang tahun ataupun merayakan apapun lagi karena ternyata di dunia ini enggak ada yang spesial. Semua hari sama aja. Dan kebahagiaan itu bukan dari yang dikasih, melainkan yang ngasih. Au ah kebanyakan filsafat hidup nih gw

Nonton QE itu emosional banget buat gw, selain gw emang attach to LGBTIQ culture ya. Hampir semua episode di season 1 tuh membuka kotak pandora tentang prasangka-prasangka yang selalu kita miliki pada orang-orang di luar kelompok kita. Tentang redneck culture, tentang polisi, tentang gay yang tidak memenuhi standar dan kualifikasi gay culture. Dan yang terpenting adalah untuk meruntuhkan persaingan antar individu dan menyemarakan semangat kerjasama. Menurut gw itu yang paling penting sih. I am so done with competing in each other, kenapa kita enggak saling menyemangati dan mengapresiasi apa yang dilakukan? kaya video clip Ariana Grande yang "Break up with your girlfriend cause I am bored" itu loh. Stop make women competing to each other honeeeeey~

Dari QE gw menyadari bahwa enggak semua orang siap dengan kedewasaan. Gw sendiri menyadari bahwa gw udah naik level jadi orang dewasa adalah pas pertama kali ngekos saat kuliah. Pada malam pertama gw di kosan gw nangis terus kangen ortu gw. Padahal rumah gw sama kosan jaraknya cuma 45 menit dan masih di kota yang sama. Besok harinya gw mencuci pakaian gw sendiri, menyetrika, memilih makanan untuk dimakan setiap hari, mengatur jadwal kapan main kapan belajar, mengatur keuangan dan segala macamnya. Enggak mudah. Sama sekali enggak mudah. Kedewasaan sama sekali bukan pilihan, itu yang gw nonton di Queer Eye dan alasan mereka untuk make over orang-orag yang seems okay with their life tapi sebenernya mereka belum selesai dengan kedewasaannya sendiri. Ada yang bermasalah komunikasi dengan keluarganya, ada yang ingin buat keluarganya: anak, istri atau pasangan bahagia tapi enggak tahu caranya. That kind is a problem that we face almost every day, right???

Kayanya kedewasaan itu emang butuh proses dan kita butuh bantuan orang buat mengkritik, sekaligus membangun supaya kita bisa menghadapi masalah-masalah yang selama ini ada tapi kita pikir itu bukan biasa aja dan bukan masalah. THAT IS SO OURS!

Di usia 25 dan menikah ini gw menyadari banyak temen-temen sebaya gw yang tidak bisa melihat dan menyelesaikan masalahnya sendiri dan lebih suka terjebak dalam drama-drama yang muncul akibat masalah yang tidak selesai itu. Seperti ada temen gw usia 28 tahun tapi masih dikontrol penuh oleh orangtuanya dan enggak bisa menyelesaikan masalahnya sendiri. Atau ada orang yang punya masalah legalitas serius tapi sibuk jadi admin instagram nir-faedah. Atau daripada sibuk memikirkan karier hidupnya ke depan dia malah mempersoalkan penampilannya. Like, maaan gimana caranya maintain penampilan kalau kamu gak punya uang buat mendanai hal tersebut????

Banyak banget orang yang punya masalah dan conceal dan tidak menyelesaikan masalahnya. Banyak orang memutuskan menikah dan punya anak padahal ekonomi mereka belum stabil dan banyak ambisinya belum terwujud, akibatnya anak dijadikan projeksi atas mimpi-mimpinya yang gagal. Kan kasihan banget, baik dirinya dan anaknya.

Gw sendiri punya masalah. Ya, setiap manusia hidup pasti punya masalah. Gw sadar gw punya masalah dan kadang gw gak bisa lihat masalah itu, harus ada orang lain yang kasih tau. Makannya gw sangat menghargai kritik. Masalah buat gw kaya rasa takut, dia ada untuk dihadapi dan membuat kita jadi lebih baik. Gw akan menghadapinya dan menyelesaikannya.

Sekarang gw ada masalah karena enggak kunjung mulai kuliah S2 dan cita-cita gw adalah menjadi akademisi. Gw sedih, tentu. Gw posting kesedihan gw di Facebook dan bicara dengan teman-teman tentang masalah gw. Iya gw lakukan. Dan teman yang baik akan kasih saran bagaimana meyelesaikannya. Misalnya saat gw curhat gini ke Andi, dia bilang gw harus coba lagi dan konsisten aja dengan jurusan gw. Suami gw bilang gw ambil dengan kriteria C1 bahasa jerman which means gw harus belajar bahasa jerman sampai C1 (ini bisa dua tahun sendiri) baru apply lagi jurusan sejarah aja. Mereka mengakui titik lemah gw, mendengarkan dan memberikan saran menurut prespektif mereka dan gw bisa pikirkan mana yang terbaik buat gw.

Dan di sini, what are you feeding? yourself or your ego? kalau kamu feeding ego akan sulit buat kamu mendengarkan orang lain tapi kalau kamu feeding yourself ya kau akan bisa buat diri kamu lebih baik setiap harinya. Itu yang gw belajar dari Ferena.

Masalah gw dan ortu misalnya. Hubungan kami sebatas "don't ask don't tell" dibanding menunjukan diri gw yang sebenarnya pada ortu gw mereka akan shock dan gak siap jadi gw cuma tunjukan hal-hal yang mereka mau lihat dari gw.

 Ini sebabnya gw cocok banget sama temen-temen dari LGBTIQ gw kami hidup dengan cara yang sama tapi mereka pasti jauh lebih sulit karena menyangkut seksualitas yang tabu, makannya gw harus terus mendukung mereka. Masalah gw gak ada apa-apanya coy dibanding mereka.

Itulaaaah yang gw belajar dari Queer Eye, someone to open your eyes and tell you what inside you. Dari setiap episodenya mereka coba bikin dialog terhadap orang-orang dengan stereotip anti-LGBTIQ dan ngobrol untuk membongkar semua prasangka dan mengeluarkan si individunya menjadi dirinya. Menerima dan apresiasi. Menurut gw ini yang harus dilakukan banyak orang dalam hidupnya, memahami dirinya dan menyelesaikan masalah-masalah yang muncul. Karena masalah kan terus ada ya, dan yang kita lakukan bukan menyembunyikan tapi menghadapinya. Oh I love Queer Eye!



Comments

Popular posts from this blog

Buku Membicarakan Feminisme

Pengalaman Pertama ke Pride Cologne 2019

Resep Brownies 3 Mangkok Legendaris Nadyazura (Beserta FAQ membuat Brownies enak)