Hidup di Jerman di tengah pandemi Korona

Halohalo gimana kabarnya urang sadayana!
Gw jarang nulis blog sebab: jengjengjeng

MALES

maunya masak aja


Iya nih gw kadang menimbang-nimbang apakah gw harus bikin dan menulis Diary sebagaiana yang selalu aku  lakukan lima belas tahun yang lalu. Sampai gw lambat laun sadar gw menulis karena kepala gw penuh bacaan yang harus dikeluarkan dari kepala gw dengan kegiatan menulis. Namun setelah hidup menjadi dewasa dan kewajiban mencari uang demi bertahan hidup. Kemewahan waktu untuk berkontemplasi dan menuliskan isi hati dan kepala lambat laun menajdi sebuah kemewahan yang aku sendiri kadang sulit menggapainya.

Apaan sih gw nulis hanjing



kegiatan yang malesin



Sebelum wabah menyerang gw sibuk banget hanjing. Gw kerja 3x seminggu, les bahasa Jerman 5x seminggu, ke gym at least 3x seminggu juga. Kalau gw gak kerja yha gw pergi ke gym dan baik kerja atau berolahraga itu capek banget bosq. Badan udah terlalu lelah buat diajak baca buku ataupun istirahat menulis. Tanpa membaca gw enggak bisa menulis apa-apa termasuk menyelesaikan naskah buku yang tengah tahun ini sesungguhnya sudah deadline yasud

Anyway, wabah Korona menyerang Jerman tepatnya di bulan Februari sih isunya udah mulai berasa. Rasisme meningkat di bulan Februari, bulan Maret awal restoran tempat gw kerja mulai dihantam orang gila yang pada mengeluarkan ujaran kebencian rasisin restoran kami. Pengunjung juga turun drastis. Puncaknya pada pertengahan Maret ini. Hari ini, pemerintah nasional Jerman sudah memberlakukan pelarangan berkumpul lebih dari dua orang di ruang publik. Restaurant gw udah tutup dari seminggu yang lalu bersamaan dengan ditutupnya gym. Tinggalah gw di rumah bersama suamik.

Gw tau susah banget tinggal di indonesia pasti di tengah pandemi begini. Gw susah banget bilang sama keluarga untuk tetap stay di rumah dan jangan ke mana-mana dulu kalau gak penting-penting amat. Hindari keramaian. Bokap yang paling pertama ngerasa karena dia bisnis ekspor-impor jadi susah banget karena perekonomian dunia ikut berpengaruh. Kemudian adik gw si bebek karena dia anaknya sigap dan baca berita. Adek gw yag lain masih sempet ke mall dan ibu gw masih kumpul sama temen2 pengajiannya sambil sebar hoax bahwa korona adalah balatentara Allah untuk menghancurkan kemunafikan dunia.

Anyway, kabar Jerman dengan korona. Tentu tidak baik-baik saja. Restoran, gym, kafe semua bisnis yang mengandalkan tamu terjun bebas keuangannya. Pemerinah Jerman yang kaya raya karena pajak memberikan pinjaman tak bersyarat kepada para pengusaha dan menggaji semua karyawan mereka. Termasuk gw!

Gak sia-sia gw cuma terima 560 Euro dari total 800 Euro gaji gw per bulan. Pajak di Jerman emang tinggi banget parah sampai 30% per pendapatan tapi tingkat korupsinya kecil dan penduduknya rajin protes dan marah-marah mengawasi pemerintahan. Gaji gw yang gw terima itu bersih karena perusahaan membayar asuransi pensiun dan jaminan kesehatan buat gw. Di Jerman, asuransi pensiun dan kesehatan itu hukumnya fardu ain alias semua manusia harus memilikinya.

Gw baru memiliki asuransi pensiun setelah bekerja paruh waktu atau teilzeit dari sbeelumnya gw bekerja minijob atau dikenal dengan 450 Euro job. Kalau bekerja 450 Euro kamu enggak kena pajak sekaligus tidak dibayarin asuransi dan kesehatannya.

Bentar-bentar, gw mau jelasin gimana sistem bekerja di Jerman.
Sebagai negara sosialis, dengan partai kiri yang kuat, definisi kerja adalah PERJAM bukan per hasil produksi. Jadi UMR di sini 10 Euro/jam. Gw bekerja paruh waktu yakni maksimal 20 jam perminggu yang dibedah berdasarkan kesepakatan gw dan bos gw adalah 7-6jam dan tiga kali dalam seminggu.

Karena gw kerja di restoran, maka gaji gw di ambang UMR karena gw juga biasanya mendapat tip dari pelanggan, bisa 15-30 Euro per hari. Dan gak kaya orang Jepang, orang Jerman suka ngetip minimal 2-5% dari harga makanan.

Setelah pandemi menyerebak dan pebisnis service dan industri pada amsyong, pemerintah Jerman yang kaya dari uang pajak memberikan insentif pada pengusaha dengan syarat mendata pegawainya. Pegawainya akan digaji oleh pemerintah setengah dari gaji aslinya. Misal, gw digaji 800 Euroan per bulan maka gw akan menerima 400an Euro per bulan selama toko tutup dengan tidak melakukan apapun alias cuma di rumah aja goler-goleran.

Kemarin bos gw udah keliling ke rumah para pegawainya (kebetulan kami emang tinggal deket dari resto cuma 1-2km dari resto) untuk minta tandatangan sehingga bos gw bisa mengajukan pinjaman dan insya allah membuka resto kalau wabah sudah berhasil. Kami sangat berharap resto bisa buka lagi. Karena jujur gw suka sekali bekerja di restoran dan bos gw sudah memprediksikan gw untuk serius dalam karier manajemen restoran (jadi sejarawan gak ada duitnya gaes)

Apakah 400 Euro cukup untuk bertahan hidup?
Jawabannya lumayan lah
Sebab gw juga masih menerima tunjangan negara sebagai istri dari orang Jerman sebanyak 300an Euro per bulan. Yak gaes, gw dapet duit 300 Euro per bulan dengan menjadi IRT saja. Dengan kurs rupiah 17rb (hari ini: 23 Maret 2020) gw kira-kira dapat Rp 5,3 jt dengan menjadi IRT dan Rp 7jtan dari tunjangan pegawai yang libur karena pandemi.

Di sisi lain suami gw pekerjaannya tidak terdampak oleh pandemi, sebagai dosen dan pengajar kampus sudah memundurkan jadwal mengajar semester musim semi jadi 20 Maret dan suami gw hidup dari funding penelitiannya. Gajinya masih full jadi gw masih tenang-tenang aja di rumah bisa belanja dan bayar sewa rumah. Gw enggak kebayang buat pekerja yang dipaksa untuk ambil unpaid leave kaya bokap gw atau temen-temen gw yang bahkan enggak diijinkan work from home.

Dengan adanya pandemi ini gw semakin percaya akan ideologi sosialis. Men lihat aja negara-negara yang mampu menangani pandemi dengan efektif dan cepat: Kuba, Vietnam bahkan Jerman walau angkanya naik, presentasi kematiannya paling rendah. Sebab akses kesehatan bagi semua orang terjangkau bahkan diwajibkan.

I believe in Communism


Bayangkan jika gaji gw 800 Euro enggak dipotong pajak sementara gw harus vaksin, tes darah dan cek ini itu selama sakit hormonal imbalence gw kemarin. Gw juga pernah dibawa ke emergency karena kista pecah. Duit gaji gw dan ditambah suami enggak akan mampu cover biaya kesehatan itu. Dengan 560 Euro yang gw terima bersih, gw bisa menikmati akses kesehatan bahkan paid leave dari perusahaan gw bekerja.

Sementara itu, harga-harga makanan dijaga. Jika di inggris kios pada naikin harga tisu toilet hal tersebut enggak berlaku di sini. Enggak ada yang berani naikin harga di tengah pandemi. Itu namanya emncari keuntungan di tengah bencana. Ya kami emang harus di rumah aja dan gak boleh berkumpul lebih dari dua orang, tapi kami diperbolehkan bekerja di kebun, jogging, ajak anjing jalan2 dan pergi ke supermarket untuk belanja kebutuhan pokok. Walau border di tutup, pasokan barang tetap boleh keluar masuk karena itulah hak asasi. Gw enggak panic buying karena gw tahu kebutuhan primer disediakan di sini dan dijaga dengan baik.

Hidup di Jerman enak bukan karena orangnya ramah-ramah. Kita semua tau kalau orang Jerman terlalu serius, gak ada humor dan nyebelin abis. Secara personal mereka hobi banget komplain tentang apapun. APAPUN! tapi kebiasaan komplain membuat sistem pemerintahan jadi bagus. Bayangin aja kami ada lampu merah buat pejalan kaki dan semuanya menuruti aturan tsb. Kalau ada yang melanggar lampu merah kami langsung berasumsi pasti orang itu bukan orang Jerman. Gitu deh.

Comments

  1. Kalo di Swedia lebih tinggi lagi tunjangannya karena pajaknya jg lebih besar. By the way, knp sewa rumah masih bayar? Bukankah kalo udah beli rumah artinya bebas dari sewa bulanan? Apa Jerman aturannya berbeda?

    ReplyDelete
  2. Jadi termotivasi buat nulis abis baca tulisan ini, thx kk :)

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Buku Membicarakan Feminisme

Pengalaman Pertama ke Pride Cologne 2019

Resep Brownies 3 Mangkok Legendaris Nadyazura (Beserta FAQ membuat Brownies enak)